Jumat, 06 Februari 2009

PUTUSNYA PERKAWINAN KARENA MURTAD (Telaah Kritis Terhadap Psl 116 huruf “h” KHI)

Fakta di lapangan menunjukkan cukup banyak di antara pasangan yang masuk Islam sebelum menikah, kembali ke agama asalnya setelah perkawinan berjalan beberapa tahun. Keluar dari Islam atau murtad, akan menimbulkan goncangan yang signifikan dalam rumah tangga . Betapa tidak, pasangan yang tetap dalam Islam dihadapkan kepada persoalan yang cukup dilematis, yakni suami atau isterinya tidak lagi seagama dengannya, hal mana dilarang oleh Islam (Pasal 40 dan Pasal 44 KHI), sementara di sisi lain perkawinan telah berjalan beberapa tahun, malah mungkin telah memiliki beberapa orang anak.

Di samping itu, ada juga pihak yang murtad mengajak pasangannya untuk ikut keluar dari Islam demi keutuhan rumah tangga. Bagi yang lemah iman, terlebih lagi karena tekanan ekonomi, ajakan tersebut mungkin menjadi sebuah alternatif. Namun, bagi yang kuat iman tentunya ajakan tersebut akan dikesampingkan kendatipun dengan resiko harus berpisah dan mengakhiri perkawinan dengan segala konsekuensinya.

Dalam upaya mengantisipasi permasalahan tersebut, Pasal 116 huruf "h" KHI telah melakukan terobosan hukum dengan menegaskan bahwa salah satu alasan perceraian adalah "murtad yang menimbulkan perselisihan dan petengkaran dalam rumah tangga".

Ketentuan tersebut merupakan langkah maju kalau dibandingkan dengan alasan perceraian menurut pasal 19 PP No 9 Tahun 1975. Namun muatan pasal 116 huruf "h" KHI terkesan ambigu, karena adanya klausula "yang menimbulkan perselisihan dan pertengkaran dalam rumah tangga." Klausula tersebut menunjukkan bahwa "murtad", tidak dengan sendirinya menjadi alasan perceraian, kecuali kalau dengan murtadnya salah satu pihak timbul perselisihan dan pertengkaran dalam rumah tangga.

Secara a-contrario dapat dikatakan, jika tidak timbul perselisihan dan pertengkaran akibat murtad, maka murtad tidak dapat menjadi alasan perceraian. Hal mana tidak sinkron dengan semangat Pasal 40 dan Pasal 44 KHI yang melarang perkawinan beda agama.

Download selengkapnya di sini

MENAKAR ULANG PERWALIAN DALAM PERKAWINAN ISLAM

Seiring dengan perkembangan kesadaran akan ketidakadilan jender saat ini, maka muncul sebuah kebutuhan untuk mengkaji ulang berbagai ketentuan yang ada di dalam hukum perkawinan Islam.

Hukum perkawinan Islam seperti yang dibahas di dalam kitab-kitab fikih ternyata mengandung berbagai ketentuan yang bias jender. Hal yang demikian dapat dimaklumi karena berbagai kitab fikih tersebut disusun pada masa ketika episteme yang dominan mengikuti normanorma androsentris.

Di antara ketentuan dalam hukum perkawinan Islam yang penting untuk dikaji ulang adalah berkaitan dengan masalah perwalian dalam perkawinan। Hal ini karena di dalam hukum perkawinan Islam keberadaan wali bagi perempuan merupakan rukun dalam perkawinan, sehingga seolah-olah menempatkan perempuan sebagai pihak yang tidak cakap hukum, sehingga harus diampu, karena jika tidak, maka perkawinannya tidak sah. Ketentuan yang demikian tentu saja sangat diskriminatif terhadap perempuan.

Download selengkapnya di sini

“STATUS HUKUM DAN HAK ANAK HASIL DARI PERKAWINAN WANITA HAMIL (Studi Komparatif antara Hukum Islam dan Hukum Positif di Indonesia)”

Judul tersebut mengkaji tentang perbandingan status hukum dan hak anak hasil dari kawin hamil antara hukum Islam dan hukum positif di Indonesia. Suatu penelitian yang bertujuan untuk mengkaji dua hokum yang berlaku di Indonesia yang diterapkan dalam menentukan status hukum dan hak anak hasil dari perkawinan wanita hamil.

Dalam hukum islam, Status hukum anak hasil dari perkawinan wanita hamil adalah apabila anak tersebut lahir dari wanita hamil yang kandungannya minimal berusia 6 (enam) bulan dari perkawinannya yang sah atau kemungkinan terjadinya hubungan badan antara suami isteri dari perkawinan yang sah tersebut maka anak itu dianggap sebagai anak yang sah.

Dan dalam hukum positif di Indonesia, status hukum anak hasil dari perkawinan wanita hamil adalah anak yang sah adalah anak yang dilahirkan akibat atau dalam perkawinan yang sah. Sebagaimana diatur dalam KUHPer, UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dan KHI.

Sedangkan mengenai hak anak, yang dilahirkan dari perkawinan wanita hamil menurut hukum Islam apabila anak tersebut dilahirkan lebih dari enam bulan masa kehamilan dari perkawinan sah ibunya atau dimungkinkan adanya hubungan badan, maka anak tersebut dianggap anak sah sehingga memiliki hak terhadap kedua orang tuanya yaitu hak radla’, hak hadlanah, hak walayah (Perwalian), hak nasab, hak waris dan hak nafkah. Dan apabila anak tersebut dilahirkan kurang dari enam bulan masa kehamilan dari perkawinan sah ibunya atau dimungkinkan adanya hubungan badan maka anak tersebut dalam hukum Islam anak tersebut dianggap anak yang tidak sah, sehingga anak hanya berhak terhadap ibunya.

Sedangkan menurut hukum positif di Indonesia bahwa anak yang lahir dari perkawinan hamil adalah anak yang sah dari kedua orang tuanya, sehingga ia memiliki hak-hak yang wajib dipenuhi oleh kedua orang tuanya yaitu kedua orang tua wajib memelihara dan mendidik anak-anak mereka sebaik-baiknya, orang tua mewakili anak tersebut mengenai segala perbuatan hukum di dalam dan di luar pengadilan, sebagai wali dalam perkawinan, hak nasab dan hak kewarisan।


Selengkapnya download di sini