Rabu, 28 Januari 2009

PERKAWINAN SALĒP TARJHÂ DI MASYARAKAT MADURA

Masyarakat Madura di satu sisi merupakan masyarakat yang agamis dengan menjadikan Islam sebagai agama dan keyakinannya, Hal ini tercermin dalam ungkapan “Abhantal syahadat, asapo’ iman, apajung Allah”, yang menggambarkan bahwa orang Madura itu berjiwa Agama Islam.

Akan tetapi di sisi lain mereka juga masih mempertahankan adat dan tradisi yang terkadang bertentangan dengan ketentuan syari’at Islam, karena adat dan tradisi yang dipertahankan tersebut hanya berlandaskan pada mitos-mitos yang tidak dapat dirasionalisasikan dan cenderung bertentangan dengan aqidah Islamiyah, seperti larangan untuk melakukan perkawinan dengan model Salēp Tarjhâ ini salah satunya.

Salēp Tarjhâ ini merupakan salah satu model perkawinan yang dilarang oleh masyarakat Madura, secara syari’at Islam sih dibenarkan, tapi adat-istiadat melarang perkawinan tersebut. Perkawinan Salēp Tarjhâ ini oleh masyarakat Madura diyakini dapat membawa bencana atau musibah bagi pelaku maupun keluarganya, yakni berupa sulit/melarat rezekinya, sakit-sakitan (ke’sakean), anak/keturunan pelaku perkawinan tersebut lahir dengan kondisi tidak normal (cacat) dan lain sebagainya.

Istilah Salēp Tarjhâ merupakan sebuah istilah yang diberikan oleh Bengaseppo (sesepuh/nenek moyang) masyarakat Madura bagi perkawinan silang antara 2 (dua) orang bersaudara (sataretanan) putra-putri. Contoh : Ali dan Arin adalah dua orang bersaudara (kakak-adik) yang dijodohkan/dinikahkan secara silang dengan Rina dan Rizal yang juga dua orang bersaudara (kakak-adik).

Dalam hal ini perlu digarisbawahi bahwa suatu perkawinan itu akan disebut sebagai perkawinan Salēp Tarjhâ, apabila orang yang menikah tersebut adalah seorang laki-laki dan seorang perempuan saudara kandung yang kemudian keduanya dinikahkan secara silang dengan 2 (dua) orang saudara kandung juga. Jadi, apabila modelnya tidak seperti ini, maka tidak disebut dengan perkawinan Salēp Tarjhâ .

Perkawinan Salēp Tarjhâ, secara normatif boleh-boleh saja dilakukan, karena di dalam al-Qur’an dan al-Hadits maupun menurut pandangan para ulama yang sudah terkodifikasi di dalam kitab-kitab fiqh klasik (kitab kuning) tidak didapatkan satupun adanya larangan terhadap model perkawinan Salēp Tarjhâ tersebut. Oleh karenanya, siapapun yang melakukan perkawinan model tersebut dibenarkan dan tidak dilarang.

Pada dasarnya, larangan terjadinya perkawinan Salēp Tarjhâ berkaitan erat dengan adanya keyakinan masyarakat akan mitos-mitos yang berkaitan dengan perkawinan tersebut. Tentunya mitos-mitos tersebut tidak terlepas dari ajaran dan doktrin yang ditanamkan oleh nenek moyang mereka secara turun temurun. Masyarakat Madura memiliki keyakinan bahwa perkawinan ini dapat mendatangkan musibah dan bencana bagi pelaku maupun keluarganya. Oleh karena itu, bagi orang-orang yang ngotot untuk tetap melakukan perkawinan Salēp Tarjhâ ini, mereka diharuskan mengadakan ritual selamatan (slametthen) atau doa bersama dengan cara mengundang sanak famili, kerabat, tetangga, maupun para kiai (keyae), dengan tujuan agar orang tersebut (pelaku perkawinan Salēp Tarjhâ) dapat terbebas/terhindar dari mara bahaya mitos-mitos itu.

Adanya perbedaan pemahaman antara para kiai (keyae) dan sesepuh masyarakat tentang kepercayaan terhadap mitos perkawinan Salēp Tarjhâ tersebut pada akhirnya berimplikasi pada terkotaknya masyarakat ke dalam 3 (tiga) golongan, yaitu: Golongan pertama, sebagian dari masyarakat memahami bahwa perkawinan Salēp Tarjhâ itu adalah sesuatu yang harus dihindari dan tidak boleh dilakukan karena sudah menjadi sebuah keyakinan bahwa perkawinan tersebut dapat mendatangkan malapetaka atau musibah bagi siapa saja yang tetap melakukannya. Golongan kedua, sebagian dari masyarakat “setengah-setengah” antara percaya dan tidak percaya atau “ragu-ragu” terhadap mitos perkawinan Salēp Tarjhâ tersebut. Golongan ketiga, sebagian dari masyarakat tidak percaya dan bahkan tidak yakin sama sekali terhadap mitos perkawinan Salēp Tarjhâ tersebut karena menurut pemahaman mereka keyakinan terhadap mitos-mitos sangat bertentangan dengan ajaran agama Islam.

Tampak sangat jelas bahwa ulama/kiai berusaha untuk mempertahankan “doktrin agama” yang diyakininya, sedangkan sesepuh masyarakat berusaha untuk mempertahankan “doktrin budaya” yang diwarisinya dari nenek moyang (bengaseppo) mereka secara turun-temurun dari generasi ke generasi berikutnya. Dari sini dapat disimpulkan bahwa sungguhpun masyarakat Madura merupakan masyarakat agamis ternyata dalam kehidupannya masih ada beberapa orang yang sangat sulit untuk meninggalkan tradisi-tradisi dan adat-istiadat yang diwarisi secara turun-temurun dari para leluhur/nenek moyang mereka.

Oleh karenanya perlu dilakukan kajian budaya perspektif agama Islam secara lebih intensif dan mendalam sehingga dapat memahami mana budaya yang perlu dilestarikan dan mana budaya yang harus ditinggalkan.

TES DNA STATUS ANAK ZINA YANG LAHIR SETELAH IBUNYA DINIKAH PENGHAMILNYA : KAJIAN KHI


KHI melalui pasal 53 ayat 1 membolehkan wanita hamil dikawini oleh laki-laki yang menghamilinya. Bunyi pasal dan ayat tersebut adalah sebagi berikut:

Seorang wanita hamil di luar nikah, dapat dikawinkan dengan pria yang menghamilinya.
Dalam hal ini timbul masalah bagaimana status anak yang dilahirkan wanita tersebut, apakah ia dinasabkan kepada laki-laki itu atau tidak. Jika dinasabkan berarti ia dengan laki-laki itu saling mewarisi, jika tidak, berarti juga tidak. Makalah ini akan membahas masalah terebut.

Melalui pasal 99, KHI menyatakan bahwa:
Anak yang sah adalah: a. anak yang dilahirkan dalam atau akibat perkawinan yang sah; b. hasil pembuahan suami istri yang sah di luar rahim dan dilahirkan oleh istri tersebut.

Berdasarkan pasal - 99 ayat a - ini, jelas bahwa anak zina yang lahir setelah ibunya dinikahi penghamilnya seperti diatur dalam pasal 53 ayat 1 KHI adalah anak sah. Sebabnya ialah anak tersebut dilahirkan dalam perkawinan yang sah. Anak ini bukan anak yang lahir di luar perkawinan. Anak yang lahir di luar perkawinan - menurut pasal 186 KHI - hanya mempunyai hubungan saling mewaris dengan ibunya dan keluarga dari pihak ibunya. Oleh karena anak ini dilahirkan dalam perkawinan yang sah, maka ia saling mewaris tidak saja dengan ibu dan keluarga dari pihak ibunya, tetapi juga saling mewaris dengan bapak dan keluarga dari pihak bapaknya. Dengan kata lain, tidak ada perbedaan antara anak ini dan anak yang lahir akibat perkawinan yang sah.

Sekalipun merujuk pada kitab-kitab fiqh, ternyata dalam hubungannya dengan status anak yang lahir dalam perkawinan, KHI tidak memberi batasan, sebagaimana fiqh. Seperti diketahui fiqh memberi tenggang waktu minimal 6 bulan antara kelahiran dan akad nikah menurut Abu Hanifah, atau antara kelahiran dan persetubuhan yang terjadi setelah akad nikah menurut Malik dan Syafi’i baru anak tersebut dapat dinasabkan kepada bapaknya. Jika kurang dari 6 bulan, tidak dapat dipertalikan nasab tersebut. Dengan demikian jika pasal 99 a KHI di atas diinterpretasikan dengan tolok ukur fiqh Malik dan al-Syafi’i, sekalipun anak tersebut lahir begitu akad nikah selesai, tetap tergolong anak sah sepanjang persetubuhannya terjadi minimal 6 bulan sebelum anak tersebut dilahirkan. Sedang jika tolok ukur fiqh Abi Hanifah yang digunakan, baru dipandang sah jika anak tersebut lahir minimal 6 bulan setelah terjadinya akad nikah. Oleh karena baik pasal 53 ayat 1 maupun pasal 99a KHI, bertujuan antara lain untuk melindungi anak dimaksud, maka tolok ukur fiqh Malik dan al-Syafi’i lebih sejalan dengan tujuan tersebut.

Fiqh secara tegas menyatakan bahwa anak zina dapat saling mewarisi dengan ibu dan keluarga pihak ibu. Sedang dengan bapak dan keluarga pihak bapak tidak dapat saling mewarisi. Alasan yang dikemukakan fiqh, ialah adanya kejelasan hubungan nasab antara anak dengan ibunya melalui adanya indikasi bahwa ibu tersebutlah yang nyata-nyata mengandungnya. Oleh karena itu mereka saling mewarisi. Sedang antara anak dengan bapak, kejelasan hubungan nasab didasarkan atas adanya akad nikah dengan ibu anak tersebut, karena tidak ada indikasi selainnya yang dapat dijadikan pegangan. Demikianlah fiqh dahulu memberikan ketentuan.

Bagaimana sekarang, ketika ilmu pengetahuan dan teknologi berkembang pesat? Dalam hal ini, muncul berbagai persoalan yang terkait dengan ketentuan fiqh di atas. Misalnya apakah hubungan nasab seorang anak dengan ibunya, ditentukan oleh adanya kenyataan bahwa wanita itulah yang mengandungnya, bagaimana jika janin tersebut berasal dari ovum wanita lain, sedang ia hanya sekedar mengandungnya saja, bukan sekaligus pemilik ovum tersebut? Bagaimana pula jika ilmu pengetahuan dan penggunaan teknologi kedokteran dapat menentukan secara pasti hubungan genetik (nasab) antara seorang anak dengan bapaknya melalui test deoxyribonucleic acid (DNA) ? Tampaknya dalam hal ini berlaku prinsip: Hukum berubah mengikuti perubahan zaman, tempat, dan keadaan (تغير الأحكام بتغير الأزمنة والأمكنة والأحوال ). Berdasarkan paradigma ini, maka hubungan nasab antara anak zina dan bapaknya dapat ditentukan secara pasti melalui test DNA. Ini membawa konsekuensi, keduanya saling mewarisi, termasuk juga dengan keluarga pihak bapaknya. Natijah hukum ini didasarkan atas kaidah di atas, dan alasan-alasan berikut:

1. Akurasi hasil test DNA sangat tinggi , sehingga lebih logis dijadikan dasar menentukan hubungan nasab, dibanding jika didasarkan atas adanya akad nikah antara bapak-ibu seorang anak, termasuk juga jika dibandingkan dengan penentuan hubungan nasab seorang anak dengan ibunya atas dasar bahwa ibunya itulah yang mengandung (padahal belum tentu anak yang dikandungnya itu berasal dari ovum ibunya sendiri).

2. Dengan diakuinya secara hukum hubungan nasab antara anak dengan bapak- nya - walaupun pada hakikatnya hasil perzinaannya - akan memberikan jaminan yang pasti bagi anak tersebut, baik berkaitan dengan kepastian nasabya, maupun dengan hak-haknya yang lain, serta akan memaksa bapak tersebut bertanggung jawab memikul konsekuensi logis dari perbuatannya sendiri.

3. Jika dengan prinsip al-walad li al-firasy , hukum Islam dapat memberikan kepastian hukum hubungan nasab antara seorang anak dan suami ibunya, maka seharusnya lebih dapat memberikan hal yang sama bagi seorang anak yang dengan pembuktian test DNA menunjukkan adanya hubungan genetika secara signifikan dengan seorang laki-laki (bapaknya). Pola istinbath ini dikenal dengan sebutan qiyas awlawiy atau mafhum muwafaqah.

Dengan ditemukannya teknologi yang dapat dipergunakan untuk menentukan ada tidaknya hubungan genetik antara seseorang dengan yang lainnya, maka pendapat tersebut justru prospektif, termasuk juga jika dikaitkan dengan KHI. Bahkan hukum harus mengakui adanya hubungan nasab tersebut, sekalipun kedua orang tua itu akhirnya tidak melakukan pernikahan, jika test DNA membuktikan adanya pertalian genetik tersebut secara signifikan. Dengan cara demikian, tidak saja status hukum hubungan nasab antara anak zina dan bapaknya legitimated, tetapi juga sekaligus hak-hak anak tersebut menjadi terlindungi.

Menurut hukum positif di Indonesia status anak zina yang lahir setelah ibunya dinikah laki-laki penghamilnya adalah termasuk anak sah. Oleh karena itu antara anak tersebut dan bapaknya saling mewarisi. Sekalipun yang demikian ini bertentangan dengan jumhur ulama, akan tetapi terdapat pendapat yang sejalan dengan hukum positif tersebut, yang jika dilengkapi dengan test DNA justru lebih prospektif, baik bagi status hukum anak tersebut maupun bagi kepentingan perlindungan hak-haknya. Bahkan status dan perlindungan tersebut, juga berlaku bagi semua anak zina, sekalipun kedua orang tuanya akhirnya tidak melakukan pernikahan, jika test DNA membuktikan adanya hubungan genetik secara signifikan.

Rahasia Terbesar di Dunia


1. Jika perasaanku tertekan dan kecewa, aku akan bernyanyi.

2. Jika perasaanku sedih, aku akan tertawa.

3. Jika aku merasa sakit, aku akan bekerja dua kali lipat (lebih giat).

4. Jika aku merasa takut, aku akan maju ke depan.

5. Jika aku merasa rendah diri, aku akan mengenakan pakaian baru.

6. Jika aku merasa kurang yakin, aku akan meninggikan suaraku.

7. Jika aku merasa miskin, aku akan berfikir kekayaan yang akan datang.

8. Jika aku kurang berhasil, aku akan mengingat masa-masa sukses yang

pernah kucapai.

9. Jika aku merasa disingkirkan, aku akan mengingat hasil-hasil yang

pernah kucapai.

10. Jika aku Overconfident, aku akan mengingat kegagalan – kegagalanku.

11. Jika aku terlalu rakus, aku akan mengingat saat – saat aku lapar.

12. Jika aku merasa puas, aku akan mengingat saingan – sainganku.

13. Jika aku menikmati saat – saat kejayaanku, aku akan mengingat pada

waktu aku dipermalukan.

14. Jika aku berkuasa penuh, aku akan mengingat mereka yang pernah

jatuh.

15. Jika aku berada dalam keadaan sehat, aku akan mengingat satu orang

yang kelaparan.

16. Jika perasaan banggaku naik, aku akan mengingat saat – saat aku

lemah.

17. Jika pengetahuanku tidak ada bandingnya, aku akan menengadah

kelangit melihat bintang – bintang diatas.