Fakta di lapangan menunjukkan cukup banyak di antara pasangan yang masuk Islam sebelum menikah, kembali ke agama asalnya setelah perkawinan berjalan beberapa tahun. Keluar dari Islam atau murtad, akan menimbulkan goncangan yang signifikan dalam rumah tangga . Betapa tidak, pasangan yang tetap dalam Islam dihadapkan kepada persoalan yang cukup dilematis, yakni suami atau isterinya tidak lagi seagama dengannya, hal mana dilarang oleh Islam (Pasal 40 dan Pasal 44 KHI), sementara di sisi lain perkawinan telah berjalan beberapa tahun, malah mungkin telah memiliki beberapa orang anak.
Di samping itu, ada juga pihak yang murtad mengajak pasangannya untuk ikut keluar dari Islam demi keutuhan rumah tangga. Bagi yang lemah iman, terlebih lagi karena tekanan ekonomi, ajakan tersebut mungkin menjadi sebuah alternatif. Namun, bagi yang kuat iman tentunya ajakan tersebut akan dikesampingkan kendatipun dengan resiko harus berpisah dan mengakhiri perkawinan dengan segala konsekuensinya.
Dalam upaya mengantisipasi permasalahan tersebut, Pasal 116 huruf "h" KHI telah melakukan terobosan hukum dengan menegaskan bahwa salah satu alasan perceraian adalah "murtad yang menimbulkan perselisihan dan petengkaran dalam rumah tangga".
Ketentuan tersebut merupakan langkah maju kalau dibandingkan dengan alasan perceraian menurut pasal 19 PP No 9 Tahun 1975. Namun muatan pasal 116 huruf "h" KHI terkesan ambigu, karena adanya klausula "yang menimbulkan perselisihan dan pertengkaran dalam rumah tangga." Klausula tersebut menunjukkan bahwa "murtad", tidak dengan sendirinya menjadi alasan perceraian, kecuali kalau dengan murtadnya salah satu pihak timbul perselisihan dan pertengkaran dalam rumah tangga.
Download selengkapnya di sini